Kamis, 12 Desember 2013
Rabu, 13 November 2013
Menghormati Orang Tua Kita
Didalam ajaran Islam menghormati kedua
orang tua adalah merupakan satu bagian ajaran yang tidak dapat
dipisahkan dengan bagaian ajaran lainnya.Berbuat baik kepada kedua
orang tua merupakan kuknci untuk mendapatkan Ridho Allah SWT. Begitu
besarnya perhatian Allah buat meletakkan dasar ajaran untuk berbuat
baik kepada kedua orang tua.
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حُسْناً وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ
" Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya
kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan." (QS. Al-Ankabut :8)
Rasullulah SAW memberikan tekanan di
dalam berbuat baik kepada kedua orang tua terutama kepada Ibu,
alasannya selama sembilan bulan ibu yang mengandung, yang menyusui
anaknya selama dua tahun. Oleh karena itu berbuat baik kepada Ibu Bapak
bukan saja diperintahkan bahkan diberikan tutunannya dalam ajaran
agama.
Kedudukan orang tua bagi anak begitu
mulia, sehingga Allah SWT menentukan bahawa sesudah kita mengabdi
kepada Allah maka kewajiban kedua adalah berbakti kepda kedua orang
tua, sebagaimana firmannya
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak". (QS. An-nisa : 36)
Demikian Allah SWT sudah menetapkan perintah Nya agar kita sebagai anak harus berbuat baik kepada kedua orang tua.
Rasulullah SAW bersabda :
"Keridhoan Allah bergantung kepada
keridhoan orang tua dan kemurkaan Allah bergantung kepada kemurkaan
kedua orang tua." (HR. Tarmidzi)
Ayat dan Hadits tadi mengingatkan
kepada kita agar jangan sampai melupakan orang tua ketika kita telah
menjadi kaya. Memang tidak ada perjanjian tertulis agar anak membalas
budi orang tuanya dan memang ibu bapaknya tidak berpikir untuk mendidik
dengan tujuan demikian. Akan tetapi apakah pantas kiranya jika sianak
melupakan pengorbanan kedua orang tua dan siksa berat bagi yang
mendurhakan keduanya. Sabda Rasulullah SAW :
"Dua macam kejahatan yang akan dibalas
Allah dengan segera didunia ini, yaitu zina dan durhaka kepada Ibu dan
Bapaknya."(HR. Thabrani).
Kita tidak ingin seperti yang
digambarkan sejarah yaitu putranya Nabi Nuh, kita juga tidak ingin
mempunyai generasi seperti Alqomah yang tidak tahu berbalas budi kepada
orang tuanya.
Karena itu marilah kita muliakan dan
hormati kedua orang tua agar hatinya tidak merasa kesal atau marah
akibat dari perbuatan / tindak tanduk kita yang kurang terpuji.
Kewajiban berbakti kepada kedua orang
tua tidak hanya ketika masih hidup tetapi sampai mereka sudah meniggal
dunia, ada empat perkara (ketika sudah meninggal) :
1. Mendo'akan
2.Melaksanakan janjinya
3. Memuliakan sahabatnya
4. Silaturahmi dengan familinya
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : wahai Tuhanku,
kasihinilah mereka kedunya, sebagaimana mereka mengasihiku diwaktu
kecil " (QS. Al-Isra' : 24)
Minggu, 03 November 2013
Selamat Tahun Baru 1435 Hijriyah
Tidak terasa beberapa jam lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah 1435 H. Rasanya peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk bekal menghadap sang Ilahi.
Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.
Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.
Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.
Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini. Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.
Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).
Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia.
Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok.
Dikutip dari : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/11/02/mvmd8e-tahun-baru-hijriah-1435-h
Dikelola oleh Syariep Hidayat
Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.
Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.
Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.
Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini. Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.
Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).
Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia.
Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok.
Dikutip dari : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/11/02/mvmd8e-tahun-baru-hijriah-1435-h
Dikelola oleh Syariep Hidayat
Selasa, 29 Oktober 2013
Etika Berpakaian Seorang Muslim/Muslimah
A. Pendahuluan
Istilah pakaian merupakan terjemahan dari kata “libas” atau “tsiyab”
dalam bahasa Arab. Dalam al-Qur’an, kata libas digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir maupun pakaian batin, sedangkan kata “tsiyab”
(pakaian) digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini diambil
dari kata “tsaub” yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada
keadaan semuala, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.
Ide dasar tentang pakaian adalah kembalinya manusia pada keadaan semula, yaitu “tertutupnya aurat”, namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Hal ini dapat dicermati secara jelas dalam firman Allah SWT :
Ide dasar tentang pakaian adalah kembalinya manusia pada keadaan semula, yaitu “tertutupnya aurat”, namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Hal ini dapat dicermati secara jelas dalam firman Allah SWT :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ
عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ
هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنْ
الْخَالِدِينَ
“Setelah itu maka, Setan membisikkan pikiran jahat (hasutan)
kepada keduanya (Adam dan Hawa) untuk menampakkan pada keduanya apa yang
tertutup (pandangan) dari mereka yaitu auratnya, dan setan berkata :
“Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak
menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (di surga) (al-A’raf : 20)”
Selanjutnya dijelaskan dalam firman Allah SSWT dalam ayat 22 bahwa :
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا
سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ
وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ
وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف:
22)
“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan
tipu daya. Ketika keduanya telah merasakan buah pohon itu, nampaklah
bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka : “Bukankah Aku
telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu :
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS. al-A’raf : 22)
Dari ayat tersebut di atas tampaklah bahwa pada keadaan semua manusia
itu dalam keadaan tertutup auratnya, dan yang menggoda manusia dengan
tipu daya untuk melepas dan membuka auratnya adalah setan, dan
tanda-tanda kehadiran setan adalah “keterbukaan aurat” manusia. Sebuah
riwayat yang dikemukakan oleh al-Baqa’i dalam bukunya Shubhat Waraqoh
menyatakan bahwa ketika Nabi SAW belum memperoleh keyakinan tentang apa
yang dialaminya di Gua Hira’ – apakah dari malaikat atau dari setan —
beliau menyampaikan hal tersebut pada istrinya Khadijah. Khadijah
berkata “Jika engkau melihatnya lagi, beritahu aku”. Ketika di saat lain
Nabi SAW melihat (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira’, Nabi SAW
menyampaikan kepada istrinya Khadijah, kemudian Khadijah membuka
pakaiannya sambil bertanya, “Sekarang, apakah engkau masih melihatnya ?”
Nabi SAW menjawab, “Tidak !… dia pergi”. Khadijah dengan penuh
keyakinan berkata, “Yakinlah yang datang bukan setan … (karena hanya
setan yang senang melihat aurat)”. Dalam hal ini Allah SWT mengingatkan
kepada umat manusia :
يَابَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ
أَبَوَيْكُمْ مِنْ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا
لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ
حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 27)
“Wahai anak-anak Adam! Janganlah kamu sekali-kali dapat ditipu
oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari
surga, ia menanggalkan dari keduan pakaiannya untuk memperliharkan
kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya
melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yantg tidak beriman” (QS. al-A’raf : 27)
Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yantg tidak beriman” (QS. al-A’raf : 27)
Oleh karena itu, persoalan berpakaian bukan hanya persoalan yang
menyangkut hobi, mode, trend, budaya maupun kesukaan dari seseorang,
akan tetapi, berpakaian lebih merupakan upaya yang sesungguhnya untuk
mengembalikan manusia — setelah ditipu dan digoda setan untuk telanjang —
pada fitrah dirinya sebagai makhluk yang mulia, beradab dan berbeda
dengan makhluk yang lain.
B. Tujuan dan Fungsi Pakaian
Pakaian merupakan ciri khas orang yang beradab. Pakaian merupakan
identitas, status, bahkan kumpulan nilai dari nuansa nilai-nilai
kemanusiaan. Pakaian muncul dari peradaban yang menjelma menjadi suatu
budaya sekalipun pada arti yang sesungguhnya pakaian bukan suatu budaya,
akan tetapi pakaian lebih dekat dengan seruan ajaran agama guna menutup
aurat, untuk mengembalikan manusia pada ide dan hakekat manusia
sebenarnya yang berbeda dengan hewan.
Adapun nilai budaya yang menyentuh pada aspek pakaian terletak pada mode dan gaya, atau potongan yang menambah kesan indah dalam berpakaian. Dalam konteks ini muncullah istilah busana (berbusana) yang lebih dekat dengan nilai-nilai keindahan yang promosinya ditekankan pada modes secara lahiriyah belaka. Sedangkan istilah pakaian (berpakaian) lebih pada nilai-nilai kemanusian yang dekat dengan nilai peradaban manusia, karena mengandung makna fitrah manusia yanh utuh lahir dan batin.
Dalam al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan kepada manusia tentang tujuan dan fungsi pakaian yang sebenarnya :
Adapun nilai budaya yang menyentuh pada aspek pakaian terletak pada mode dan gaya, atau potongan yang menambah kesan indah dalam berpakaian. Dalam konteks ini muncullah istilah busana (berbusana) yang lebih dekat dengan nilai-nilai keindahan yang promosinya ditekankan pada modes secara lahiriyah belaka. Sedangkan istilah pakaian (berpakaian) lebih pada nilai-nilai kemanusian yang dekat dengan nilai peradaban manusia, karena mengandung makna fitrah manusia yanh utuh lahir dan batin.
Dalam al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan kepada manusia tentang tujuan dan fungsi pakaian yang sebenarnya :
يَابَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي
سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ
آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (الأعراف : 26(
“Wahai anak Adam ! Sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian
kepadamu untuk menutupi auratmu, dan pakaian (untuk) perhiasan, dan
pakaian taqwa itu lebih baik. Demikian inilah dari tanda-tanda (karunia)
Allah, agar mereka selalu mengingat” (QS. al-A’raf : 26)
Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman dalam surat an-Nahl, ayat 81:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ
الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمْ الْحَرَّ
وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ.
“Dan Allah menjadikan bagi kamu tempat bernaung (berteduh) dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunug, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang bisa memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang menjagamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmatnya atasmu agar kamu berserah diri (kepadaNya)” (An-Nahl : 81)
“Dan Allah menjadikan bagi kamu tempat bernaung (berteduh) dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunug, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang bisa memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang menjagamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmatnya atasmu agar kamu berserah diri (kepadaNya)” (An-Nahl : 81)
Dari firman Allah SWT tersebut di atas dapat dimengerti bahwa tujuan
utama pakaian adalah untuk menutup aurat, sedangkan fungsi pakaian
beraneka ragam, misalnya untuk perhiasan, dan perlindungan dari panas
matahari, perlindungan dari sesuatu yang membahayakan (baju besi untuk
peperangan), untuk menambah kepercayaan diri, tampil menarik. Bisa saja
orang berpakaian apa andanya, minim, menonjolkan aurat dan orang akan
mengatakan sebagai keindahan (bahkan ada yang menafsirkan suatu
kemajuan), dan itu bisa disebut perhiasan, akan tetapi tujuan utama
berpakaian tidak terpenuhi yaitu menutup aurat.
Istilah aurat identik dengan kata sauat sebagaimana terdapat pada al-Qur’an surat al-A’raf ayat 26. Sauat yang berarti buruk, tidak menyenangkan, sedangkan aurat berarti aib, sesuatu yang tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu pada dirinya buruk, tetati bisa juga karena ada faktor lain yang mengakibatkan buruk. Tidak satupun dari bagian tubuh itu buruk, kareana semuanya baik dan bermanfaat, termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang maka “keterlihatan” itulah yang buruk dan aib.
Menutup aurat merupakan kewajiban setiap orang yang beriman, hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama’. Adapun bagian tubuh yang termasuk aurat (yang wajib ditutupi) bagi laki-laki meliputi anggota badan dari pusar sampai lutut, sementara itu aurat bagi wanita, menurut sebagaian besar ulama – Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali — wanita berkewajiban menutup seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, Imam Abu Hanifah sedikit lebih longgar karena menambahkan selain muka, telapak tangan dan kaki wanita juga boleh terbuka.
Suatu pakaian dipandang telah memenuhi kreteria menutup aurat apabila (1) pakaian itu tidak lubang sehingga seseorang dapat melihat bagian tubuh yang termasuk aurat, (2) pakaian itu mempu menghalangi pandangan seseorang untuk mengetahui warna aurat (kulitnya) dan (3) pakaian itu mampu menghalangi seseorang untuk mengetahui lekuk dan bentuk aurat seseorang. Oleh karena itu, pada dasarnya menutup aurat itu bukan hanya sekedar tertutup tanpa mengindahkan aspek-aspek esensial (yang pokok) yang menjadi tujuan utama berpakaian menutup aurat.itu sendiri. Diriwayatkan dari sahabat Abi Hurairoh, Rasulullah SAW bersabda:
Istilah aurat identik dengan kata sauat sebagaimana terdapat pada al-Qur’an surat al-A’raf ayat 26. Sauat yang berarti buruk, tidak menyenangkan, sedangkan aurat berarti aib, sesuatu yang tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu pada dirinya buruk, tetati bisa juga karena ada faktor lain yang mengakibatkan buruk. Tidak satupun dari bagian tubuh itu buruk, kareana semuanya baik dan bermanfaat, termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang maka “keterlihatan” itulah yang buruk dan aib.
Menutup aurat merupakan kewajiban setiap orang yang beriman, hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama’. Adapun bagian tubuh yang termasuk aurat (yang wajib ditutupi) bagi laki-laki meliputi anggota badan dari pusar sampai lutut, sementara itu aurat bagi wanita, menurut sebagaian besar ulama – Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali — wanita berkewajiban menutup seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, Imam Abu Hanifah sedikit lebih longgar karena menambahkan selain muka, telapak tangan dan kaki wanita juga boleh terbuka.
Suatu pakaian dipandang telah memenuhi kreteria menutup aurat apabila (1) pakaian itu tidak lubang sehingga seseorang dapat melihat bagian tubuh yang termasuk aurat, (2) pakaian itu mempu menghalangi pandangan seseorang untuk mengetahui warna aurat (kulitnya) dan (3) pakaian itu mampu menghalangi seseorang untuk mengetahui lekuk dan bentuk aurat seseorang. Oleh karena itu, pada dasarnya menutup aurat itu bukan hanya sekedar tertutup tanpa mengindahkan aspek-aspek esensial (yang pokok) yang menjadi tujuan utama berpakaian menutup aurat.itu sendiri. Diriwayatkan dari sahabat Abi Hurairoh, Rasulullah SAW bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ
كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ
رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا (رواه مسلم)
“Rasulullah SAW bersabda : “Dua golongan ini dari ahli neraka
yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan para wanita yang berpakaian
tapi telanjang, berlenggak-lenggok (jalannya) (berpaling dari Allah
SWT), mengajarkan wanita berlenggak-lenggok (memalingkan wanita lain
dari Allah SWT), kepala mereka seperti punuk onta yang miring (memakai
sanggul/rambut pasangan pada rambutnya), wanita seperti ini tidak akam
masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium
selama perjalanan ini dan ini (jauhnya)” (HR. Muslim)
Imam Nawawi al-Bantaniyu menjelaskan yang dimaksud dengan “nisaaun
kaasiyaatun ‘aariyaatun” (wanita yang berpakaian tetapi telanjang), ada
ulama’ yang mengartikan maksudnya : yaitu wanita-wanita yang memakai
baju titis, jarang (transparan), dan mata penglihatan bisa tembus ke
dalam tubuhnya. Atau wanita yang memakai pakaian sempit (persis dengan
body; mode zaman sekarang) sehingga dapat memperlihatkan bentuk tubuhnya
sangat menyolok karena terlalu sempitnya (ketatnya) pakaian”.
Oleh karena itu menutup aurat hendaknya memperhatikan aspek-aspek etika dan estetika dalam berpakaian dan sekaligus memenuhi syarat-syarat hijab syar’i (penutup aurat) sebagaimana yang ditentukan oleh syariat Islam.
Oleh karena itu menutup aurat hendaknya memperhatikan aspek-aspek etika dan estetika dalam berpakaian dan sekaligus memenuhi syarat-syarat hijab syar’i (penutup aurat) sebagaimana yang ditentukan oleh syariat Islam.
C. Etika Berpakaian
Berpakaian tidak saja merupakan simbul budaya dan peradaban manusia,
tetapi lebih merupakan pelaskanaan ajaran Islam guna mengankat derajat
manusia yang berbeda dengan makluk lain seperti hewan. Oleh karena itu
Islam mengatur tata cara berpakaian, adab kesopanan pakaian sebagai
etika berpakaian dalam Islam.
1) Setiap memulai sesuatu pekerjaan hendaknya membaca “basmalah”
dengan lafadz “bismillahirrahmanirrahim”, agar semua pekerjaaan kita
senantiasa diberkahi oleh Allah SWT. (lihat hadits tentang fadlilah
basmalah).
2) Membaca doa ketika membuka pakaian atau mengambil pakaian dari tempatnya, dengan doa :
2) Membaca doa ketika membuka pakaian atau mengambil pakaian dari tempatnya, dengan doa :
بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ اِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Dengan menyebut nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia”
3) Membaca doa ketika memakai pakaian, sebagai berikut :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَمِنْ خَيْرِ مَا هُوَ لَهُ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّمَا هُوَ لَهُ
“Ya Allah aku mohon kebaiakan kepadaMu dari pakaian ini dan dari
kebaikan seuatu yang terdapat di dalam pakaian ini. Dan aku berlindung
kepadaMu dari kejahatan/keburukan pakaian ini dan dari keburukan sesuatu
yang terdapat di dalam pakaian ini”.
4) Membaca doa ketika memakai pakaian baru, Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang memakai pakaian lalu berdoa :
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا وَ رَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pakain dan rizki kepadaku tanpa jerih payah dan kekuatan dariku”
maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu dan yang akan datang” (HR. Abu Daud).
5) Memulai berpakaian dengan anggota bagian kanan, dan mulai melepaskannya dengan anggota yang kiri. Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُمْنَى وَإِذَا خَلَعَ
فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا أَوْ
لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا (رواه مسلم)
“Bilamamana salah seorang kamu memakai terompa (sandal, sepatu,
baju dan lain-lain pakaian) mulailah dengan bagian kanan, dan bilamana
melepaskan mulaiakah dengan bagaian kiri. Pakailah keduanya atau
lepaskan keduanya sekaligus” (HR. Muslim dari Abi Huroiroh)
6) Tidak berpakaian yang menyerupai lawan jenisnya, laki-laki tidak
berpakaian yang menyerupai wanita dan juga wanita tidak berpakaian yang
menyerupai laki-laki.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ
تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ (رواه النسائ)
“Dari Abi Huroiroh ra berkata : “Rasulullah SAW melaknat
laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian
laki-laki” (HR. Nasa’i)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ لَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ (رواه النسائ)
“Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau
melaknati orang-orang perempuan yang menyerupai laki-laki dan orang
laki-laki yang menyerupai wanita” (HR. Nasa’i).
7) Tidak berpakaian menyerupai orang yang non-Islam. Islam melarang
umatnya untuk memekai pakaian yang menyerupai pakaian, menggunkan
simbol-simbol yang dimiliki oleh orang-orang non-Islam.
عَنْ عَلِيِّ ابْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبْسِ الْقَسِّيِّ وَالْمُعَصْفَرِ وَعَنْ
تَخَتُّمِ الذَّهَبِ وَعَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي الرُّكُوع (رواه
مسلم)
“Dari Ali bin Abi Tholib ra. : “Sesungguhnya Rasulullah SAW
melarang berpakaian seperti pakaiannya pendeta, dan memakai pakaian yang
tercelup dengan warna kuning, memakai cincing dari emas, dan membaca
al-Qur’an dalam ruku’” (HR. Muslim)
8) Hendaklah tidak menggunakan wangi-wangian yang menimbulkan fitnah
dan rangsangan nafsu. Dari sahabat Abi Musa ra, Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ
بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِي زَانِيَةً (رواه الترمذي)
“Setiap mata (pandangan) itu berzina, dan apabila wanita memakai
minyak wangi lalu ia melewati pada suatu majlis, maka ia adalah ini dan
ini (agar orang lain terangsang dan tertarik), yaitu ia wanita penzina” (HR. Tirmudzi)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Asya’ari, Rasulullah Saw bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ (رواه النسائ)
“Wanita manapun yang memakai minyak wangi dan melewati suatu kaum agar mereka (terangsang dan tertarik) dan mencium baunya, maka ia telah berzina” (HR Nasa’i)
“Wanita manapun yang memakai minyak wangi dan melewati suatu kaum agar mereka (terangsang dan tertarik) dan mencium baunya, maka ia telah berzina” (HR Nasa’i)
9) Hendaklah hijab/jilbab/ pakaian tersebut menutup seluruh badan (auratnya), Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
(الأحزاب:59(
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan anak-anak
perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman, supaya mengulurkan
jilbabnya (pakaiannya) ke seluruh tubuhnya. Yang demikian itu supaya
mereka mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, Dan (ingatlah)
Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab : 59)
10) Hendaklah pakaian itu yang wajar dan beradab, bukan berupa
perhiasan yang menyolok, yang aneh-aneh baik potongannya maupun memiliki
warna warni yang menarik, yang menimbulkan fitnah dan perhatian. Allah
SWT berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ
أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنْ الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(النور :31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman : “hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemaluaannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka,
atau suami ayah mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka atau saudara-saudara mereka atau putra saudara laki mereka atau
putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak yang
mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat mereka. Dan janganlah memukulkan kaki mereka agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (an-Nur : 31)
11) Hendaklah hijab/jilbab/ pakaian tersebut menutup seluruh badan
(auratnya), tidak tipis, transparan, tidak sempit, tidak ketat, tidak
menampakkan lekuk tubuh dan aurat. Karena dimaksud dan tujuan
hijab/jilbab adalah menutup, jika tidak menutup, tidak dinamakan hijab,
karena hal tersebut tidak menghalangi penglihatan terhadap aurat dan
lekuk-lekuknya aurat. Hal inilah yang disinyalir oleh Nabi SAW
“wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang”. wanita yang demikian
itu dinyatakan tidak masuk surga dan tidak mencium baunya surga.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا (رواه مسلم)
“Rasulullah SAW bersabda : “Dua golongan ini dari ahli neraka
yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan para wanita yang berpakaian
tapi telanjang, berlenggak-lenggok (jalannya) (berpaling dari Allah
SWT), mengajarkan wanita berlenggak-lenggok (memalingkan wanita lain
dari Allah SWT), kepala mereka seperti punuk onta yang miring (memakai
sanggul/rambut pasangan pada rambutnya), wanita seperti ini tidak akam
masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium
selama perjalanan ini dan ini (jauhnya)” (HR. Muslim).
12) Hendaknya tidak memakai pakaian dengan model yang aneh-aneh agar
berbeda dengan kebanyakan orang, dan memakainya dengan perasaan sombong
dan takabbur, karena hal ini dilarang oleh agama Islam. Rasulullah SAW
bersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
(رواه مسلم)
“Dari Ibnu Umar ra sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Allah
tidak melihat (tidak memeri rahmat) kapada orang yang melabuhkan
(menyeret) pakaiannya karena sombong” (HR. Muslim).
D. Penutup
Etika berpakaian secara Islami sebagaimana yang dituturkan di atas,
menurut hemat penulis, meskipun serba sedikit tulisan yang dapat
disampaikan melalui kesempatan ini, tetapi pada batas tertentu tulisan
tersebut diharapkan bisa memberikan gambaran dan wawasan serta pedoman
bagaimana seharusnya seorang muslim berpakaian yang baik sesuai dengan
ajaran Islam.
Akhirnya penulis mengingatkan kepada kita semua akan firman Allah SWT :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ
اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد :16)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
tunduk (khusyuk) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang
telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang
yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah
masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (al-Hadid : 16)
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan pertolongan dan kemudahan
kepada kita semua untuk selalu mematuhi ajaran Islam, teguh pendirian,
tidak terpengaruh oleh nilai-nilai budaya dan ajaran lain yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Amin yaa rabbal-‘alain. Wallahu a’lam
bishowab.
Dikelola oleh Syariep Hidayat
Senin, 28 Oktober 2013
Adab Terhadap Guru&Sesama Murid
Adab- adab terhadap guru:
1.Taat kepada guru kita dalam semua perkara kecuali perkara yang maksiat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
2.Bertutur katalah dengan lemah lembut dan penuh rendah diri kepada guru kita.
3.Meminta izin kepada guru kita untuk bertanya atau pergi dari majlis.
4.Memberi salam kepada guru apabila berjumpa dan sentiasa hormat kepadanya.
5.Beri sepenuh tumpuan dalam pengajaran guru, duduk dengan sopan dan sentiasa dalam keadaan tenang.
6.Lakukan apa yang paling disegani oleh guru kita.
7.Hindari dari menyinggung perasaan guru pada saat berbicara.
8.Mendoakan keampunan dan kesejahteraan buat guru.
9.Selalu menziarahi mereka atau menziarahi maqam mereka setelah mereka meninggal dunia.
10.Mengambil berkah dengan mereka, doa mereka, bekas atau lebihan air atau makanan mereka.
Begitu juga dengan tempat mereka mengajar atau orang-orang yang akrab dengan mereka.
Sedangkan adab-adab terhadap sesama murid, banyak sekali diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Mencintai kepada sesama murid sebagaimana mencintai dirinya sendiri.
2. Mendahului memberi salam, dilangsungkan berjabat tangan dan ditambah perkataan yang menyejukkan ketika berjumpa.
3. Bergaul dengan mereka dengan pergaulan yang baik, sopan dan menyenangkan.
4. Berbuat baik kepada mereka, sehingga tidak ada tanggapan bahwa dirinya merasa lebih dekat dengan Syaikh dan keluarganya, merasa lebih senior, dll.
5. Berusaha mendamaikan jika melihat, mengerti dan mengetahui teman seperguruan ada yang berbeda pendapat yang menyebabkan permusuhan.
6. Bertanya nama & alamat jika awal ketemu dengan sesama murid dan jangan lupa bertanya nama ayahnya.
7. Berkata jujur setiap berkata dengan sesama murid agar tidak timbul mengadu domba terhadap sesama.
8. Jangan sekali-kali menjatuhkan nama baik teman seperguruan, terutama jika teman lain sedang menerima ujian.
9. Memenuhi janji yang telah dijanjikan kepada temannya selama tidak menyebabkan melakukan maksiyat.
10. Mau menerima ‘udzur (alasan) teman seperguruan yang melakukan kesalahan sekalipun bohong.
11. Menjahui satron-satronan terhadap sesama murid dengan membuang wajah ketika bertemu lebih 3 hari 3 malam.
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada yang lebih baik yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada sopan santun.” (HR. Thabrani).
1.Taat kepada guru kita dalam semua perkara kecuali perkara yang maksiat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
2.Bertutur katalah dengan lemah lembut dan penuh rendah diri kepada guru kita.
3.Meminta izin kepada guru kita untuk bertanya atau pergi dari majlis.
4.Memberi salam kepada guru apabila berjumpa dan sentiasa hormat kepadanya.
5.Beri sepenuh tumpuan dalam pengajaran guru, duduk dengan sopan dan sentiasa dalam keadaan tenang.
6.Lakukan apa yang paling disegani oleh guru kita.
7.Hindari dari menyinggung perasaan guru pada saat berbicara.
8.Mendoakan keampunan dan kesejahteraan buat guru.
9.Selalu menziarahi mereka atau menziarahi maqam mereka setelah mereka meninggal dunia.
10.Mengambil berkah dengan mereka, doa mereka, bekas atau lebihan air atau makanan mereka.
Begitu juga dengan tempat mereka mengajar atau orang-orang yang akrab dengan mereka.
Sedangkan adab-adab terhadap sesama murid, banyak sekali diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Mencintai kepada sesama murid sebagaimana mencintai dirinya sendiri.
2. Mendahului memberi salam, dilangsungkan berjabat tangan dan ditambah perkataan yang menyejukkan ketika berjumpa.
3. Bergaul dengan mereka dengan pergaulan yang baik, sopan dan menyenangkan.
4. Berbuat baik kepada mereka, sehingga tidak ada tanggapan bahwa dirinya merasa lebih dekat dengan Syaikh dan keluarganya, merasa lebih senior, dll.
5. Berusaha mendamaikan jika melihat, mengerti dan mengetahui teman seperguruan ada yang berbeda pendapat yang menyebabkan permusuhan.
6. Bertanya nama & alamat jika awal ketemu dengan sesama murid dan jangan lupa bertanya nama ayahnya.
7. Berkata jujur setiap berkata dengan sesama murid agar tidak timbul mengadu domba terhadap sesama.
8. Jangan sekali-kali menjatuhkan nama baik teman seperguruan, terutama jika teman lain sedang menerima ujian.
9. Memenuhi janji yang telah dijanjikan kepada temannya selama tidak menyebabkan melakukan maksiyat.
10. Mau menerima ‘udzur (alasan) teman seperguruan yang melakukan kesalahan sekalipun bohong.
11. Menjahui satron-satronan terhadap sesama murid dengan membuang wajah ketika bertemu lebih 3 hari 3 malam.
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada yang lebih baik yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada sopan santun.” (HR. Thabrani).
Dikelola Oleh Syariep Hidayat
Langganan:
Postingan (Atom)